Opini (Inggris:
Opinion) adalah pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau
preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak
objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian, dapat pula merupakan
sebuah pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan dan kebenaran
atau kesalahannya serta tidak dapat langsung ditentukan misalnya menurut
pembuktian melalui induksi.
Opini bukanlah
merupakan sebuah fakta, akan tetapi jika di kemudian hari dapat dibuktikan atau
diverifikasi,
maka opini akan berubah menjadi sebuah kenyataan atau fakta.
Contoh Opini karya Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina
Memenangkan Indonesia
INDONESIA harus diurus oleh orang
baik: bersih dan kompeten. Republik ini didirikan oleh para pemberani:
kaum terdidik yang sudah selesai dengan dirinya. Efeknya dahsyat. Bung
Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak. Semua merasa ikut punya
Indonesia. Semua beriuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka dan
berdaulat. Ada yang beriuran tenaga, pikiran, uang, barang, dan
termasuk nyawa. Namun, merdeka itu bukan cuma soal menggulung
kolonialisme. Merdeka adalah juga soal menggelar kemakmuran dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
Kini kepada siapa republik ini akan
dititipkan untuk diurus? Semua yang terpilih dalam pemilu tahun ini akan
mengatasnamakan kita semua selama lima tahun ke depan. Semua perkataan
dan perbuatan yang dilakukan atas nama kita semua. Semua UU dan
peraturan daerah yang dibuat akan mengikat kita semua.
Saat tantangan bangsa ini masih
banyak yang mendasar, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
transportasi, dan energi, maka—apa pun partainya—tantangan yang harus
dijawab sama. Saat hambatan terbesar negeri ini adalah korupsi dan hulu
korupsi adalah urusan kekuasaan, maka apa pun partainya akan berhadapan
dengan otot kokoh koruptor yang sama.
Pemilu ini bukan soal warna partai.
Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang bermasalah ada di
berbagai partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua partai. Pemilu
harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik lawan orang
bermasalah. Kita harus memastikan bahwa orang yang terpilih akan hadir
untuk mengurus bukan menguras negara. Ini pemilu keempat di era
demokrasi, sudah saatnya menjadi ajang kebangkitan wong waras,
kebangkitan orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah.
Indonesia membutuhkan kemenangan
orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong
menang dalam pemilu. Persyaratan utama bagi orang-orang baik untuk kalah
dan tumbang dalam pemilu adalah orang-orang baik lainnya hanya menonton
dan tak membantu. Ironisnya, Indonesia kini penuh dengan penonton:
ingin orang baik menang di pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik,
tetapi hanya mau beriuran harap, beriuran angan. Ada keengganan kolektif
untuk terlibat, untuk membantu.
Keengganan dan skeptisisme itu
sering dilandasi pandangan: buat apa membantu, toh orang-orang baik
justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat apa
membersihkan sepatu, toh bisa terkotori lagi. Namun, jika dibersihkan
secara rutin, dipakai dengan baik, dijaga dari cipratan kotor, sepatu
itu akan aman, akan bersih. Kalaupun terkotori, tugas kita adalah
memastikan bahwa sepatu itu rutin dibersihkan.
Di republik ini, tugas kita adalah
lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan
orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar
diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu setiap 5 tahun kita ”kirim” orang
baik lagi.
Sejak kapan kita jadi bangsa yang
suka putus asa? Tugas kita adalah menyuplai orang baik terus-menerus.
Kita harus menjaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat panjang,
dan stok orang baik di republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan
untuk pamer keluh kesah dan nglokro.
Kita bersyukur saat melihat ada
orang baik mau repot-repot masuk politik. Lihat, bermunculan orang-orang
baik yang terpilih menjadi gubernur, bupati, wali kota ataupun anggota
dewan perwakilan. Makin panjang deretan nama orang bersih dan kompeten,
orang baik yang terpanggil, dan mau turun tangan. Namun, mereka semua
hanya bisa menang, memegang otoritas, jika orang baik lainnya bersedia
untuk terlibat dan membantu.
Permasalahan yang dihadapi, begitu
banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung dijauhi. Yang
menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di Indonesia hari
ini amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan oleh
para politisi telah merendahkan makna politik dan politisi.
Politik dan politisi tidak lagi
dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja politik dipandang
sebagai mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan. Para calon
yang baik itu tergerus oleh opini bahwa semua calon itu sama: sekadar
cari kuasa untuk menguras—bukan untuk mengurus—negeri. Orang baik pun
makin sedikit yang mau turun tangan. Makin sedikit orang baik yang
”siap” dituding sama dengan kelakuan para penguras negeri.
Jika orang-orang baik hanya mau jadi
pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur penggunaan uang
pajak kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan, dan tenaga
kerja, misalnya, adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik
dipandang rendah, kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat
hidup orang serepublik ini dibuat. Patutkah kita diamkan?
Masih adakah caleg baik? Ya,
Indonesia masih punya stok orang baik: orang bersih dan kompeten. Namun,
mereka tidak akan bisa menang, mendapatkan otoritas untuk
mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita semua tidak ikut
membantu. Sekali lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan
semata-mata karena orang jahat berjumlah banyak, melainkan karena
orang-orang baik memilih diam, mendiamkan, dan bahkan menjauhi.
Republik ini adalah milik kita
semua. Bukan milik segelintir orang, apalagi orang-orang yang sanggup
membayar siapa saja untuk berbuat semaunya. Berhenti cuma urun angan.
Harus mau turun tangan! Tak semua orang harus ikut partai politik,
tetapi saat pemilu jangan pernah diam, membiarkan orang-orang bermasalah
melenggang tak ditantang, tak dihentikan. Pada saat pemilu, harus
muncul kesadaran kolektif bahwa ini bukan upacara politik, ini
kesempatan menempatkan orang baik jadi pengurus negeri.
Bantu orang-orang tak bermasalah di
sekitar kita yang terpanggil untuk ikut mengurus republik agar mereka
bisa menang. Jangan pernah takut mendukung. Di era non-demokratis dulu,
sikap mendiamkan dalam sebuah pemilu adalah sikap perlawanan, kini
mendiamkan adalah sikap pembiaran atas status quo.
Gelombang baru kebangkitan
Kini kita menyaksikan gelombang baru
yang sedang bangkit. Generasi baru yang bergerak dan membantu karena
percaya, ide, dan integritas. Bukan generasi yang mau menjual dukungan
karena rupiah.
Pilihan untuk membantu orang baik di
dalam pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini mungkin tampak tak
populer, masih tampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat dan membantu
para caleg tak bermasalah.
Dunia bergerak ke arah perbaikan
tata kelola yang baik. Korupsi tak bisa langgeng, ia makin hari makin
tergerus. Bayangkan suatu saat kelak generasi anak-anak kita hidup di
era baru dan bertanya: ”Ayah, Ibu, di zaman politik Indonesia masih
penuh korupsi, apakah Ayah dan Ibu ikut korupsi, atau diam, atau ikut
melawan?”
Saat itulah pilihan sejarah tadi
menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau terlibat,
sekurang-kurangnya Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. ”Ayahmu,
Ibumu, tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat republik
ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu,
tak menjual dukungan. Ayah dan Ibumu membantu orang-orang baik dengan
tanpa dibayar. Harga diri Ayah dan Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”
Izinkan anak-anak kita bangga saat
sadar bahwa mereka mewarisi negeri yang ayah dan ibunya ikut
meninggikuatkan. Saat ada kesempatan mengubah wajah kita sendiri, wajah
Indonesia kita, maka kita tak cuma diam. Kita pilih ikut membersihkan
Indonesia, jadikan orang baik sebagai pemegang amanah di negeri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar